Saturday, September 6, 2008

Lentera Jiwa: Kenapa Andy Noya Mengundurkan Diri Dari Metro TV

Lentera Jiwa


Senin, 25 Agustus 2008 23:55 WIB


Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin
redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang
bertanya bahwa saya keluar bukan karena 'pecah kongsi' dengan Surya Paloh,
bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan 'power' yang luar biasa
sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya
mengundurkan diri.


Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit.
Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke
IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi
Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah.
Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari
Metro TV.


Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi,
sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya
keluar dari Metro TV. ''Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus
membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus
mencari kolam yang lebih besar.''


Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak
lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya
ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda
yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam
sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran
suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia
selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia
dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang
kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah
habis.


Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya
untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang
sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya 'dipindahkan' oleh seseorang dan
nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari
keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu
terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa
yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati
kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin
lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.


Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman
di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan
dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa
sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.


Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong
saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini
membuat saya sangat nyaman karena setiap hari 'keju' itu sudah tersedia di
depan mata. Saya juga ingin mengikuti 'lentera jiwa' saya. Memilih arah
sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.


Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul 'Lentera Jiwa' yang dinyanyikan
Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin
disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah
sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.


Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa
tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang
sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku
tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak
membuatnya bahagia. Dia merasa 'lentera jiwanya' ada di ajang pertunjukkan
musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia
merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan.
Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.


Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga
menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka
tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa,
ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus
juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak
mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak
bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.


Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008),
kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam
hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan
Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk
berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki.
Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu
pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri.
''Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,'' ujarnya.
Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai
dpilomat.


Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk
menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa
dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal,
ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang
ayah sebagai dokter.


Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah
perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan
manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk
dirinya sendiri sebagai public speaker.


Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan
yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu
bagaimana cara mencapainya.


Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira
dalam menikmati hidup. ''Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira
terus. Nggak ada capeknya,'' ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes
Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya
menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam
itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu
tanpa henti. Sungguh luar biasa. ''Semua karena saya mencintai pekerjaan
saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,'' katanya.


Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang
sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah
menemukan lentera jiwa mereka.












No comments: